Selasa, 29 April 2025

 

Kajian Filosofis tentang Ajaṭaṃ, Abhūtaṃ, Asaṃkhataṃ: Perbandingan dengan Konsep Ketakterbatasan dalam Islam

Oleh Jayanantaka


Pendahuluan

Di tengah perbedaan besar dalam tradisi keagamaan dan filosofis, terdapat konsep-konsep yang memiliki kemiripan makna meskipun berasal dari bahasa dan kerangka yang berbeda. Salah satu contoh menarik adalah tiga istilah dalam teks-teks Buddhis, khususnya dalam Udāna 8.1, yang menggambarkan realitas tertinggi yang tidak bergantung pada penciptaan atau kondisi duniawi: ajātaṃ (tidak dilahirkan), abhūtaṃ (tidak diciptakan), dan asaṃkhataṃ (tidak terkondisi/tidak tersusun). Ketiga istilah ini mencerminkan konsep metafisik yang juga memiliki padanan menarik dalam Islam, khususnya dalam Surah al-Ikhlāṣ. Artikel ini mengkaji kesamaan tersebut, serta menganalisis implikasi teologis dan ontologisnya.


1. Ajātaṃ dan "Lam Yulad"

Dalam Udāna 8.1, ajātaṃ berarti "tidak dilahirkan". Ini menunjuk pada realitas yang tidak memiliki asal-mula, tidak bergantung pada kelahiran atau sebab temporal. Dalam konteks Buddhisme, ini adalah karakteristik dari Nibbāna atau keadaan mutlak yang bebas dari siklus kelahiran dan kematian.

Bandingkan dengan Islam:

"Lam yalid wa lam yūlad" — "Dia tidak memperanakkan dan tidak diperanakkan."

Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa Allah tidak lahir dan tidak melahirkan, yang berarti Ia tidak berasal dari apapun, serta tidak menghasilkan entitas lain dari hakikat Diri-Nya. Ini merupakan bentuk ketakbergantungan temporal dan biologis yang juga tercermin dalam makna ajātaṃ.


2. Abhūtaṃ dan "Aṣ-Ṣamad"

Abhūtaṃ bermakna "tidak diciptakan". Ia menunjuk pada entitas yang tidak timbul karena kehendak atau proses apa pun. Dalam teks Buddhis, ini menggambarkan sesuatu yang melampaui hukum kausalitas (paticcasamuppāda).

Padanan dalam Islam dapat dilihat pada:

"Allāhuṣ-Ṣamad" — "Allah adalah Yang Maha Dibutuhkan."

Namun akar kata ṣamad (صمد) juga membawa makna: tidak bergantung, tidak berlubang, tidak tersusun, dan tak tercipta. Dalam banyak tafsir klasik, ṣamad adalah entitas yang tidak diciptakan dan tidak menciptakan karena kebutuhan, menandakan kemutlakan dan kemandirian total.


3. Asaṃkhataṃ (Asamkatang) dan "Aḥad"

Asaṃkhataṃ bermakna "tidak terkondisi". Dalam filsafat Buddhis, ini berarti bebas dari saṃkhāra (formasi mental), tidak terdiri dari unsur-unsur, dan bukan hasil dari sebab-akibat. Ini merupakan salah satu ciri utama dari Nibbāna.

Dalam Islam, padanan utamanya adalah:

"Qul huwa Allāhu aḥad" — "Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa."

Aḥad tidak hanya berarti "satu" dalam angka, melainkan menunjuk pada kesatuan ontologis yang tak teruraikan. Berbeda dari wāḥid (satu secara numerik), aḥad menunjukkan satu yang tidak tersusun, tidak terbagi, dan tak dapat dijelaskan dengan kategori fenomenal. Dengan kata lain, aḥad = tidak tersusun, sebagaimana asaṃkhataṃ = tidak tersusun/tidak terkondisi.


4. Asamkatang: Tidak Tersusun

Dalam beberapa tafsir Pāli dan bahasa sehari-hari Buddhis, asaṃkhataṃ juga disebut sebagai asamkatang, yang berarti tidak tersusun. Artinya, realitas ini tidak memiliki komponen atau struktur internal yang bisa dipecah atau dianalisis. Hal ini semakin memperjelas bahwa keadaan tertinggi adalah kesatuan tak teruraikan, tak berubah, dan tak tergantung.

Dengan demikian, baik aḥad maupun asamkatang menunjukkan entitas yang tidak memiliki struktur, tidak bisa direduksi menjadi bagian, dan tidak mengikuti hukum kebendaan.


5. "Lam Yakun Lahu Kufuwan Aḥad": Melampaui Segala

"Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad" — "Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya."

Ayat penutup Surah al-Ikhlāṣ ini menegaskan bahwa Allah adalah entitas tak terbandingkan, tanpa padanan, tak bisa disamakan dengan apapun. Ini menyempurnakan gagasan bahwa Allah adalah mutlak, tak tergantung, dan tak tersusun.

Demikian pula dalam Buddhisme, asaṃkhataṃ dhamma bukan hanya tak terkondisi, tapi juga tak bisa dibandingkan dengan semua fenomena (dhamma) lainnya yang bersifat saṃkhata (terkondisi). Ini menggambarkan sifat transenden dari realitas tertinggi dalam dua tradisi ini.


6.  Entitas Lain Selain Nibbāna?

Penting untuk dicatat bahwa meskipun istilah ajātaṃ, abhūtaṃ, dan asaṃkhataṃ sering dikaitkan dengan Nibbāna, beberapa pandangan,  mengusulkan bahwa ketiganya tidak selalu identik dengan Nibbāna. Mereka mungkin merujuk pada realitas absolut yang menjadi prasyarat metafisik bagi keberadaan dan pencapaian Nibbāna, tetapi bukan Nibbāna itu sendiri.

Dalam kerangka ini, absolut yang tidak dilahirkan, tidak diciptakan, dan tidak tersusun adalah semacam entitas transenden yang melandasi kemungkinan pencerahan, namun tidak direduksi menjadi objek pengalaman spiritual biasa. Hal ini mendekati konsep Allah dalam Islam yang tidak bisa dijangkau, tidak berawal, tidak tercipta, dan tak tersusun.


Kesimpulan

Tiga istilah dari Udāna 8.1 — ajātaṃ, abhūtaṃ, dan asaṃkhataṃ — menyajikan visi realitas mutlak yang bebas dari kelahiran, penciptaan, dan kondisi. Ketiganya memiliki padanan yang sangat dekat dalam Surah al-Ikhlāṣ, yakni lam yulad, aṣ-ṣamad, dan aḥad.

Dengan memasukkan dimensi "tidak tersusun" dalam makna asaṃkhataṃ dan aḥad, kita semakin melihat bahwa kedua tradisi menyampaikan pemahaman metafisik yang serupa: tentang satu realitas absolut yang tidak berasal, tidak bergantung, tidak tersusun, dan tak terbandingkan.

Dengan demikian, perbandingan ini tidak hanya membuka jendela lintas iman, tetapi juga memperlihatkan bahwa pencarian terhadap Yang Mutlak telah menemukan bahasa yang sepadan dalam ruang-ruang spiritual yang berbeda.


Berikut teks lengkap artikel yang sudah diperbarui, termasuk tambahan kutipan dan penyesuaian struktur seperti permintaanmu:


Menafsir Realitas Mutlak dan Nibbāna dalam Udāna
Oleh Jayanantaka

Dalam wacana filsafat Buddhis awal, terutama dalam khazanah Khuddaka Nikāya bagian Udāna, terdapat beberapa syair yang menggugah perenungan mendalam tentang keberadaan, ketiadaan, dan apa yang melampaui keduanya. Salah satu kutipan yang paling sering dikaitkan dengan realitas tertinggi adalah dari Udāna 8.3:

“Ada, para bhikkhu, sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun. Seandainya tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun, maka tidak akan ada jalan keluar dari apa yang dilahirkan, yang menjadi, yang tercipta, yang tersusun. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun, maka ada jalan keluar dari yang dilahirkan, yang menjadi, yang tercipta, yang tersusun.”
(Udāna 8.3, Khuddaka Nikāya, Tipiṭaka Pāḷi)

Syair ini biasanya dikaitkan dengan penjelasan tentang Nibbāna. Namun, ada perbedaan mendasar antara syair ini dan syair sebelumnya dalam konteks yang sama. Jika kita cermati dua syair sebelumnya, yakni Udāna 8.1 dan Udāna 8.2, justru di sanalah kita temukan gambaran kondisi yang lebih merepresentasikan keadaan Nibbāna sebagai “keadaan” atau “pengalaman tanpa kondisi”. Berikut kutipannya:

“Ada keadaan, para bhikkhu, di mana tidak ada tanah, tidak ada air, tidak ada api, tidak ada udara; tidak ada semesta ruang tak terbatas, tidak ada kesadaran tak terbatas, tidak ada kehampaan, tidak ada bukan-ini-atau-itu; tidak ada dunia ini, dunia lain, tidak ada bulan, tidak ada matahari. Di sana aku tidak datang, tidak pergi, tidak tinggal; bukan lahir, bukan mati, bukan di antara keduanya. Itu adalah akhir dari dukkha.”
(Udāna 8.1)

“Ada, para bhikkhu, sebuah kondisi di mana tidak ada pengalaman dari bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan, atau fenomena mental. Di sanalah tidak ada kegelapan, tidak ada cahaya; tidak ada yang dilahirkan, tidak menjadi, tidak diciptakan, tidak terbentuk. Tidak disebut 'ini dunia', 'dunia lain', 'matahari' ataupun 'bulan'. Aku menyebutnya tidak menuju, tidak bergerak, tidak berlandasan. Itu adalah akhir dari dukkha.”
(Udāna 8.2)

Tambahan dari perenungan Buddha:

“Ada keadaan di mana tidak ada tanah, tidak ada air, tidak ada api, tidak ada udara; tidak ada semesta ruang tak terbatas, tidak ada kesadaran tak terbatas, tidak ada kehampaan, tidak ada bukan-ini-atau-itu; tidak ada dunia ini, dunia lain, tidak ada bulan, tidak ada matahari. Di sana aku tidak datang, tidak pergi, tidak tinggal; bukan lahir, bukan mati, bukan di antara keduanya. Itu adalah akhir dari dukkha.”

Lalu, disusul oleh syair yang sangat khas:

“Ada, para bhikkhu, sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun...”
(Udāna 8.3)

Bila dua syair pertama menggambarkan suatu keadaan tanpa dualitas, tanpa bentuk dan batas, sebagai keadaan akhir dari penderitaan (dukkha), maka syair ketiga terasa seperti menunjuk pada “sesuatu”—bukan sekadar “keadaan”.

Kata “ada sesuatu” dalam teks tersebut menandakan bahwa yang dimaksud bukan hanya ketiadaan kondisi, tapi seolah menunjuk pada realitas yang berdiri sendiri, mutlak, tidak bergantung pada apa pun, dan menjadi dasar kemungkinan lepas dari semua yang bersifat lahir, menjadi, tersusun, dan tercipta.

Konsep ini mengingatkan kita pada pemahaman dalam filsafat agama lain tentang Tuhan yang impersonal—bukan pribadi, bukan pencipta dalam pengertian aktif, namun tetap menjadi realitas mutlak yang menopang eksistensi dan menjadi dasar segala keterlepasan.

Namun penting dicatat, ini bukan berarti Buddha mengajarkan Tuhan dalam pengertian teistik. Tapi pernyataan seperti di atas memberikan ruang untuk tafsir bahwa Buddha mengakui adanya suatu realitas tertinggi, yang tak lahir, tak tercipta, dan menjadi dasar dari kemungkinan keluar dari siklus saṃsāra.

Dalam diskursus ini, kita bisa menyimpulkan sementara bahwa:

  • Nibbāna, sebagaimana tergambar dalam Udāna 8.1 dan 8.2 (beserta tambahan syair), adalah kondisi bebas dari semua dualitas dan kemelekatan.
  • Sedangkan yang disebut dalam Udāna 8.3 (“ada sesuatu...”) lebih cocok dipahami sebagai realitas absolut, suatu entitas non-pribadi, yang bisa disejajarkan dengan konsep Tuhan impersonal dalam pemikiran filsafat mistik lain.

Dengan demikian, pembacaan yang cermat terhadap teks-teks awal dapat membuka ruang perenungan yang kaya dan lintas tradisi, tanpa mencampurkan dogma, namun mengedepankan kontemplasi atas makna terdalam dari pembebasan.