Kajian Filosofis tentang Ajaṭaṃ, Abhūtaṃ, Asaṃkhataṃ:
Perbandingan dengan Konsep Ketakterbatasan dalam Islam
Oleh Jayanantaka
Pendahuluan
Di tengah perbedaan besar dalam tradisi keagamaan dan
filosofis, terdapat konsep-konsep yang memiliki kemiripan makna meskipun
berasal dari bahasa dan kerangka yang berbeda. Salah satu contoh menarik adalah
tiga istilah dalam teks-teks Buddhis, khususnya dalam Udāna 8.1, yang
menggambarkan realitas tertinggi yang tidak bergantung pada penciptaan atau
kondisi duniawi: ajātaṃ (tidak dilahirkan), abhūtaṃ (tidak diciptakan), dan asaṃkhataṃ
(tidak terkondisi/tidak tersusun). Ketiga istilah ini mencerminkan konsep
metafisik yang juga memiliki padanan menarik dalam Islam, khususnya dalam Surah
al-Ikhlāṣ. Artikel ini mengkaji kesamaan tersebut, serta menganalisis implikasi
teologis dan ontologisnya.
1. Ajātaṃ dan "Lam Yulad"
Dalam Udāna 8.1, ajātaṃ berarti "tidak
dilahirkan". Ini menunjuk pada realitas yang tidak memiliki asal-mula,
tidak bergantung pada kelahiran atau sebab temporal. Dalam konteks Buddhisme,
ini adalah karakteristik dari Nibbāna atau keadaan mutlak yang bebas dari
siklus kelahiran dan kematian.
Bandingkan dengan Islam:
"Lam yalid wa lam yūlad" — "Dia tidak
memperanakkan dan tidak diperanakkan."
Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa Allah tidak
lahir dan tidak melahirkan, yang berarti Ia tidak berasal dari apapun, serta
tidak menghasilkan entitas lain dari hakikat Diri-Nya. Ini merupakan bentuk ketakbergantungan
temporal dan biologis yang juga tercermin dalam makna ajātaṃ.
2. Abhūtaṃ dan "Aṣ-Ṣamad"
Abhūtaṃ bermakna "tidak diciptakan". Ia
menunjuk pada entitas yang tidak timbul karena kehendak atau proses apa pun.
Dalam teks Buddhis, ini menggambarkan sesuatu yang melampaui hukum kausalitas
(paticcasamuppāda).
Padanan dalam Islam dapat dilihat pada:
"Allāhuṣ-Ṣamad" — "Allah adalah Yang Maha
Dibutuhkan."
Namun akar kata ṣamad (صمد) juga membawa makna: tidak bergantung, tidak
berlubang, tidak tersusun, dan tak tercipta. Dalam banyak tafsir klasik, ṣamad
adalah entitas yang tidak diciptakan dan tidak menciptakan karena kebutuhan,
menandakan kemutlakan dan kemandirian total.
3. Asaṃkhataṃ (Asamkatang) dan "Aḥad"
Asaṃkhataṃ bermakna "tidak terkondisi". Dalam
filsafat Buddhis, ini berarti bebas dari saṃkhāra (formasi mental), tidak
terdiri dari unsur-unsur, dan bukan hasil dari sebab-akibat. Ini merupakan
salah satu ciri utama dari Nibbāna.
Dalam Islam, padanan utamanya adalah:
"Qul huwa Allāhu aḥad" — "Katakanlah:
Dia-lah Allah, Yang Maha Esa."
Aḥad tidak hanya berarti "satu" dalam angka,
melainkan menunjuk pada kesatuan ontologis yang tak teruraikan. Berbeda dari wāḥid
(satu secara numerik), aḥad menunjukkan satu yang tidak tersusun, tidak terbagi,
dan tak dapat dijelaskan dengan kategori fenomenal. Dengan kata lain, aḥad =
tidak tersusun, sebagaimana asaṃkhataṃ = tidak tersusun/tidak terkondisi.
4. Asamkatang: Tidak Tersusun
Dalam beberapa tafsir Pāli dan bahasa sehari-hari
Buddhis, asaṃkhataṃ juga disebut sebagai asamkatang, yang berarti tidak
tersusun. Artinya, realitas ini tidak memiliki komponen atau struktur internal
yang bisa dipecah atau dianalisis. Hal ini semakin memperjelas bahwa keadaan
tertinggi adalah kesatuan tak teruraikan, tak berubah, dan tak tergantung.
Dengan demikian, baik aḥad maupun asamkatang menunjukkan entitas
yang tidak memiliki struktur, tidak bisa direduksi menjadi bagian, dan tidak
mengikuti hukum kebendaan.
5. "Lam Yakun Lahu Kufuwan Aḥad": Melampaui
Segala
"Wa lam yakun lahu kufuwan aḥad" — "Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya."
Ayat penutup Surah al-Ikhlāṣ ini menegaskan bahwa Allah
adalah entitas tak terbandingkan, tanpa padanan, tak bisa disamakan dengan
apapun. Ini menyempurnakan gagasan bahwa Allah adalah mutlak, tak tergantung,
dan tak tersusun.
Demikian pula dalam Buddhisme, asaṃkhataṃ dhamma bukan
hanya tak terkondisi, tapi juga tak bisa dibandingkan dengan semua fenomena
(dhamma) lainnya yang bersifat saṃkhata (terkondisi). Ini menggambarkan sifat transenden
dari realitas tertinggi dalam dua tradisi ini.
6. Entitas Lain
Selain Nibbāna?
Penting untuk dicatat bahwa meskipun istilah ajātaṃ, abhūtaṃ,
dan asaṃkhataṃ sering dikaitkan dengan Nibbāna, beberapa pandangan, mengusulkan bahwa ketiganya tidak selalu
identik dengan Nibbāna. Mereka mungkin merujuk pada realitas absolut yang
menjadi prasyarat metafisik bagi keberadaan dan pencapaian Nibbāna, tetapi bukan
Nibbāna itu sendiri.
Dalam kerangka ini, absolut yang tidak dilahirkan, tidak
diciptakan, dan tidak tersusun adalah semacam entitas transenden yang melandasi
kemungkinan pencerahan, namun tidak direduksi menjadi objek pengalaman
spiritual biasa. Hal ini mendekati konsep Allah dalam Islam yang tidak bisa
dijangkau, tidak berawal, tidak tercipta, dan tak tersusun.
Kesimpulan
Tiga istilah dari Udāna 8.1 — ajātaṃ, abhūtaṃ, dan asaṃkhataṃ
— menyajikan visi realitas mutlak yang bebas dari kelahiran, penciptaan, dan
kondisi. Ketiganya memiliki padanan yang sangat dekat dalam Surah al-Ikhlāṣ,
yakni lam yulad, aṣ-ṣamad, dan aḥad.
Dengan memasukkan dimensi "tidak tersusun"
dalam makna asaṃkhataṃ dan aḥad, kita semakin melihat bahwa kedua tradisi
menyampaikan pemahaman metafisik yang serupa: tentang satu realitas absolut
yang tidak berasal, tidak bergantung, tidak tersusun, dan tak terbandingkan.
Dengan demikian, perbandingan ini tidak hanya membuka
jendela lintas iman, tetapi juga memperlihatkan bahwa pencarian terhadap Yang
Mutlak telah menemukan bahasa yang sepadan dalam ruang-ruang spiritual yang
berbeda.
Berikut teks lengkap artikel yang sudah diperbarui,
termasuk tambahan kutipan dan penyesuaian struktur seperti permintaanmu:
Menafsir Realitas Mutlak dan Nibbāna dalam Udāna
Oleh Jayanantaka
Dalam wacana filsafat Buddhis awal, terutama dalam
khazanah Khuddaka Nikāya bagian Udāna, terdapat beberapa syair
yang menggugah perenungan mendalam tentang keberadaan, ketiadaan, dan apa yang
melampaui keduanya. Salah satu kutipan yang paling sering dikaitkan dengan
realitas tertinggi adalah dari Udāna 8.3:
“Ada, para bhikkhu, sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun. Seandainya tidak ada sesuatu yang
tidak dilahirkan, tidak menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun, maka tidak
akan ada jalan keluar dari apa yang dilahirkan, yang menjadi, yang tercipta,
yang tersusun. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjadi,
tidak tercipta, tidak tersusun, maka ada jalan keluar dari yang dilahirkan,
yang menjadi, yang tercipta, yang tersusun.”
(Udāna 8.3, Khuddaka Nikāya, Tipiṭaka Pāḷi)
Syair ini biasanya dikaitkan dengan penjelasan tentang Nibbāna.
Namun, ada perbedaan mendasar antara syair ini dan syair sebelumnya dalam
konteks yang sama. Jika kita cermati dua syair sebelumnya, yakni Udāna 8.1
dan Udāna 8.2, justru di sanalah kita temukan gambaran kondisi yang
lebih merepresentasikan keadaan Nibbāna sebagai “keadaan” atau
“pengalaman tanpa kondisi”. Berikut kutipannya:
“Ada keadaan, para bhikkhu, di mana tidak ada tanah,
tidak ada air, tidak ada api, tidak ada udara; tidak ada semesta ruang tak
terbatas, tidak ada kesadaran tak terbatas, tidak ada kehampaan, tidak ada
bukan-ini-atau-itu; tidak ada dunia ini, dunia lain, tidak ada bulan, tidak ada
matahari. Di sana aku tidak datang, tidak pergi, tidak tinggal; bukan lahir,
bukan mati, bukan di antara keduanya. Itu adalah akhir dari dukkha.”
(Udāna 8.1)
“Ada, para bhikkhu, sebuah kondisi di mana tidak ada
pengalaman dari bentuk, suara, bau, rasa, sentuhan, atau fenomena mental. Di
sanalah tidak ada kegelapan, tidak ada cahaya; tidak ada yang dilahirkan, tidak
menjadi, tidak diciptakan, tidak terbentuk. Tidak disebut 'ini dunia', 'dunia
lain', 'matahari' ataupun 'bulan'. Aku menyebutnya tidak menuju, tidak
bergerak, tidak berlandasan. Itu adalah akhir dari dukkha.”
(Udāna 8.2)
Tambahan dari perenungan Buddha:
“Ada keadaan di mana tidak ada tanah, tidak ada air,
tidak ada api, tidak ada udara; tidak ada semesta ruang tak terbatas, tidak ada
kesadaran tak terbatas, tidak ada kehampaan, tidak ada bukan-ini-atau-itu;
tidak ada dunia ini, dunia lain, tidak ada bulan, tidak ada matahari. Di sana
aku tidak datang, tidak pergi, tidak tinggal; bukan lahir, bukan mati, bukan di
antara keduanya. Itu adalah akhir dari dukkha.”
Lalu, disusul oleh syair yang sangat khas:
“Ada, para bhikkhu, sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
menjadi, tidak tercipta, tidak tersusun...”
(Udāna 8.3)
Bila dua syair pertama menggambarkan suatu keadaan
tanpa dualitas, tanpa bentuk dan batas, sebagai keadaan akhir dari penderitaan
(dukkha), maka syair ketiga terasa seperti menunjuk pada “sesuatu”—bukan
sekadar “keadaan”.
Kata “ada sesuatu” dalam teks tersebut menandakan bahwa
yang dimaksud bukan hanya ketiadaan kondisi, tapi seolah menunjuk pada realitas
yang berdiri sendiri, mutlak, tidak bergantung pada apa pun, dan menjadi dasar
kemungkinan lepas dari semua yang bersifat lahir, menjadi, tersusun, dan
tercipta.
Konsep ini mengingatkan kita pada pemahaman dalam
filsafat agama lain tentang Tuhan yang impersonal—bukan pribadi, bukan pencipta
dalam pengertian aktif, namun tetap menjadi realitas mutlak yang menopang
eksistensi dan menjadi dasar segala keterlepasan.
Namun penting dicatat, ini bukan berarti Buddha
mengajarkan Tuhan dalam pengertian teistik. Tapi pernyataan seperti di atas
memberikan ruang untuk tafsir bahwa Buddha mengakui adanya suatu realitas
tertinggi, yang tak lahir, tak tercipta, dan menjadi dasar dari kemungkinan
keluar dari siklus saṃsāra.
Dalam diskursus ini, kita bisa menyimpulkan sementara
bahwa:
- Nibbāna,
sebagaimana tergambar dalam Udāna 8.1 dan 8.2 (beserta tambahan
syair), adalah kondisi bebas dari semua dualitas dan kemelekatan.
- Sedangkan
yang disebut dalam Udāna 8.3 (“ada sesuatu...”) lebih cocok
dipahami sebagai realitas absolut, suatu entitas non-pribadi, yang bisa
disejajarkan dengan konsep Tuhan impersonal dalam pemikiran filsafat
mistik lain.
Dengan demikian, pembacaan yang cermat terhadap teks-teks
awal dapat membuka ruang perenungan yang kaya dan lintas tradisi, tanpa
mencampurkan dogma, namun mengedepankan kontemplasi atas makna terdalam dari
pembebasan.