Rabu, 26 Juni 2019

Buddha Maitreya


Kedatangan Buddha Maitreya adalah sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Ada sedikit waktu yang tersisa sebelumnya. Di zaman dunia ini, telah diprediksi bahwa 1.000 Buddha akan datang sebagai guru universal, dan semua ini akan datang pada masa ketika rentang kehidupan manusia menurun. Rentang hidup manusia melewati siklus selama era dunia dan Buddha saat ini, Buddha Shakyamuni, datang ketika rentang hidup manusia adalah seratus dalam perjalanan menurun dalam periode menurun. Ini masih saat ajaran Buddha Shakyamuni. Dari ribuan Buddha pada zaman ini, Buddha yang sekarang, Buddha Shakyamuni, adalah yang keempat dari para Buddha ini dan dia telah didahului oleh Buddha Kashyapa dan dua Buddha lainnya, yang pertama dan yang kedua, dan Buddha Maitreya akan menjadi yang kelima dari yang lainnya. 1.000.
Di masa depan, rentang kehidupan manusia akan menurun dan turun hingga hanya sepuluh tahun. Di masa depan, zaman akan menjadi semakin buruk. Kehidupan orang akan semakin pendek dan pendek. Mereka akan melewati masa hidup dalam periode yang lebih singkat selama siklus hidup sehingga pada akhirnya seluruh hidup mereka akan berlalu dalam sepuluh tahun; dan juga, mereka akan menjadi lebih kecil dalam ukuran dan itu akan mencapai keadaan yang sangat mengerikan di dunia. Orang-orang saat ini di masa depan akan sangat agresif dan suka berperang dan akan selalu bertarung satu sama lain. Setiap orang akan menjadi seukuran cebol yang Anda lihat di sirkus.
Tapi kemudian, setelah periode mengerikan itu, maka zaman akan berubah dan kemudian rentang hidup manusia akan mulai meningkat. Jika Anda bertanya bagaimana (apakah itu terjadi) waktu akan berubah pada periode itu, itu karena emanasi Buddha Maitreya akan datang, dan dia akan mengambil bentuk orang yang sangat cantik dan menarik. Semua orang akan melihat Maitreya dan melihatnya memiliki bentuk yang begitu indah dan menarik, dan mereka akan berkata bagaimana Anda bisa seperti itu? Dia akan menjawab mereka dan mengatakan bahwa saya menjadi orang yang cantik seperti ini karena selalu bermeditasi pada cinta. Meskipun semua orang kecil saat ini tidak akan memiliki ide tentang bagaimana bermeditasi pada cinta, mereka akan mulai mengulangi kata "cinta" dan semua orang akan mengatakan "cinta." Bahkan hanya mengulang kata "cinta" seperti ini adalah sesuatu yang akan memiliki manfaat besar dan pada akhirnya masa hidup orang akan mulai meningkat dan situasinya akan mulai membaik.
Maka dengan bertambahnya rentang hidup, ini akan menjadi periode di dunia yang menua ketika Anda memiliki penampilan raja universal yang memiliki berbagai jenis roda otoritas: mereka yang memiliki roda emas, mereka yang memiliki perak, mereka yang memiliki tembaga, dan mereka yang memiliki roda besi otoritas. Ini adalah masa para raja universal yang agung ini. Akhirnya akan mencapai titik di mana orang akan hidup hingga berusia 80.000 tahun. Setelah mencapai puncak ini delapan puluh ribu tahun, maka sekali lagi masa hidup akan mulai berkurang.

Ketika mulai berkurang dari 80.000 tahun yang turun, maka saat itulah Buddha berikutnya, Maitreya akan datang sebagai guru universal. Semua Buddha muncul sebagai guru universal ketika rentang kehidupan menurun dan ini karena dalam situasi seperti itu ketika keadaan semakin buruk, ini menyebabkan orang tertarik untuk menemukan beberapa solusi dan beralih ke masalah spiritual; sedangkan, selama periode waktu ketika rentang hidup meningkat dan semuanya tumbuh lebih baik, tidak ada yang tertarik untuk mencoba menemukan jalan spiritual. Pada saat itu, masa hidup manusia telah mencapai 80.000 tahun, ini adalah saat di mana segala sesuatu di dunia akan sangat indah dan bahagia; bahwa misalnya tanah itu sendiri tidak akan memiliki gunung yang kasar dan daerah yang sulit, tetapi semuanya akan mulus seperti dataran luas yang indah.
Tidak seperti Buddha Shakyamuni yang harus menunjukkan melakukan praktik pertapaan yang sangat sulit selama enam tahun, ini tidak perlu, karena pada saat Buddha Maitreya datang, ia hanya akan memberikan indikasi yang sangat singkat tentang praktik sulit. Mengapa demikian? Itu karena Maitreya - yang namanya berarti cinta - sebagai hasil dari latihannya yang sangat intens dan meditasinya yang selalu penuh cinta, dan ini menjadi penekanan utamanya, akan ada sedikit kebutuhan untuk latihan yang begitu sulit pada masanya. Itulah hasil dari praktik cintanya yang luar biasa.
Maitreya menyusun doa pendek cinta, dan ia telah berlatih dan melafalkan doa ini selalu, dan juga, banyak orang lain akan mengucapkan doa ini dan situasi bagaimana hal ini akan terjadi di masa mendatang akan menjadi hasil dari semua doa ini. dari cinta. Jika sekarang pada masa sekarang ini kita mengikuti dengan sangat baik ajaran Buddha Shakyamuni, maka ia memiliki ciri khusus bahwa kita akan dilahirkan kembali di antara murid-murid pertama di masa depan Buddha Maitreya.
Jika Anda bertanya kapan Maitreya akan datang dalam bentuk pancaran tubuh tertinggi dengan semua tanda Buddha dan datang sebagai guru universal, maka ini adalah waktu yang telah saya gambarkan di masa depan yang jauh. Tetapi dalam hal jenis emanasi Maitreya yang biasa saja, ini hadir dalam berbagai situasi yang berbeda dan tidak diragukan lagi hadir sekarang bekerja demi semua yang lain.

Senin, 21 Agustus 2017

KONSEP TUHAN DALAM AJARAN BUDDHA



Ada beberapa teks buddhis yang terkait dengan ‘Yang Absolut’ dan ‘Yang Relatif’. Penulis sengaja menampilkan teks tersebut apa adanya agar pembaca dapat menganalisis langsung dari bahasa aslinya.
UDANA
BAB VIII. PÂTALIGÂMA
(P
ÂTALIGÂMIYA-VAGGA)
i
[80]Demikianlah yang telah saya dengar: Pada suatu kesempatan Sang
Bhagavâ sedang berdiam di dekat Sâvatthî... di taman Anâthapindika.
Pada saat itu, Sang Bhagavâ sedang mengajar, menyebarkan,
menguraikan dan membahagiakan Para Bhikkhu dengan khotbah dhamma
dengan topik utama Nibbâna. Dan bhikkhu-bhikkhu itu, mendengarnya
dengan bersungguh-sungguh, menerima, mendengarkan dhamma, dengan
penuh perhatian.
Kemudian menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagavâ mengucapkan
sebait syair Udâna:
Para bhikkhu, ada suatu keadaan yang bukan bumi, air, api,
maupun udara
; yang bukan ruang tanpa batas58, bukan pula
kesadaran tanpa batas
59, bukan kekosongan, juga bukan kesadaran
ataupun tanpa kesadaran
61; bukan dunia ini, juga bukan dunia di
baliknya, juga bukan kedua sisi dunia itu berpadu, bukan rembulan
dan matahari.
Sehingga, para bhikkhu, kami menyatakan tidak terlahir kembali;
tak'kan lenyap (dari kehidupan); tak ada gerak waktu; tak ada yang
jatuh; tak ada yang muncul. Bukan sesuatu yang tetap, juga bukan
yang bergerak, tidak melekat pada apapun. Inilah akhir
penderitaan."
ii
(Sutta ini mengulangi yang sebelumnya dan menambahkan)....
Kemudian Sang Bhagavâ... mengucapkan sebait syair Udâna:
ketiadabatasan62 yang memang sulit diresapi;
kesunyataan
63 memang sulit dipahami;
bagi yang mengerti, terhapuslah 'tanhâ',
bagi yang melihat, hanya kekosongan yang tersisa.
iii
(Sutta ini mengulangi 2 sutta sebelumnya dan ditambahkan)
Kemudian Sang Bhagavâ... mengucapkan sebait syair Udâna:
"Para Bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
menjelma,64 tidak diciptakan, tidak tersenyawa. Para bhikkhu, jika
tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak
tersenyawa, maka tidak akan ada yang terlepas dari kelahiran,
penjelmaan, ciptaan, persenyawaan.
[81] Tetapi, para bhikkhu, oleh karena ada yang tidak dilahirkan,
tidak menjelma, tidak tercipta, tidak tersenyawa,... maka
pembebasan dari kelahiran, penjelmaan, ciptaan, persenyawaan, ...
merupakan sesuatu yang nyata.
iv
(Sutta ini mengulang ke 3 Sutta sebelumnya dan ditambahkan)
Kemudian Sang Bhagavâ... mengucapkan sebait syair Udâna:
"Bagi yang melekat, masih terdapat gelombang, bagi yang tidak
melekat, tidak akan dijumpai gelombang lagi. Tanpa gelombang,
timbullah ketenangan, Tak'kan ada penjelmaan dan kelahiran yang
akan datang, tanpa penjelmaan dan kelahiran kembali, tak ada
kematian dan kelahiran kembali. Tanpa kematian dan kelahiran
kembali, tak ada "di sini" atau "Di sana" ataupun di suatu tempat di
antaranya. Inilah akhir penderitaan."
[1]


8 : Patali Village
8:1 Unbinding (1) (Nibbana Sutta)
I have heard that on one occasion the Blessed One was staying near S›vatthı
at Jeta’s Grove, An›thapi˚˜ika’s monastery. And on that occasion the Blessed
One was instructing, urging, rousing, & encouraging the monks with Dhammatalk concerned with unbinding. The monks—receptive, attentive, focusing their
entire awareness, lending ear—listened to the Dhamma.
Then, on realizing the significance of that, the Blessed One on that occasion
exclaimed:
There is that dimension, monks, where there is neither earth, nor
water, nor fire, nor wind; neither dimension of the infinitude of
space, nor dimension of the infinitude of consciousness, nor
dimension of nothingness, nor dimension of neither perception nor

non-perception; neither this world, nor the next world, nor sun,
nor moon. And there, I say, there is neither coming, nor going, nor
staying; neither passing away nor arising: unestablished,
1
unevolving, without support [mental object].2 This, just this, is the
end of stress.
8:2 Unbinding (2) (Nibb›na Sutta)
I have heard that on one occasion the Blessed One was staying near S›vatthı
at Jeta’s Grove, An›thapi˚˜ika’s monastery. And on that occasion the Blessed
One was instructing, urging, rousing, & encouraging the monks with Dhammatalk concerned with unbinding. The monks—receptive, attentive, focusing their
entire awareness, lending ear—listened to the Dhamma.
Then, on realizing the significance of that, the Blessed One on that occasion
exclaimed:
It’s hard to see the unaffected,
for the truth is not easily seen.
Craving is pierced
in one who knows;
For one who sees,
there is nothing.
8:3 Unbinding (3) (Nibb›na Sutta)
I have heard that on one occasion the Blessed One was staying near S›vatthı
at Jeta’s Grove, An›thapi˚˜ika’s monastery. And on that occasion the Blessed
One was instructing, urging, rousing, & encouraging the monks with Dhammatalk concerned with unbinding. The monks—receptive, attentive, focusing their
entire awareness, lending ear—listened to the Dhamma.
Then, on realizing the significance of that, the Blessed One on that occasion
exclaimed
There is, monks, an unborn1—unbecome—unmade—unfabricated.
If there were not that unborn—unbecome—unmade—
unfabricated, there would not be the case that escape from the
born—become—made—fabricated would be discerned. But
precisely because there is an unborn—unbecome—unmade—
unfabricated, escape from the born—become—made—fabricated is
discerned.
8:4 Unbinding (4) (Nibb›na Sutta)
I have heard that on one occasion the Blessed One was staying near S›vatthı
at Jeta’s Grove, An›thapi˚˜ika’s monastery. And on that occasion the Blessed
One was instructing, urging, rousing, & encouraging the monks with Dhammatalk concerned with unbinding. The monks—receptive, attentive, focusing their
entire awareness, lending ear—listened to the Dhamma.
Then, on realizing the significance of that, the Blessed One on that occasion
exclaimed:
One who is dependent has wavering. One who is independent has
no wavering. There being no wavering, there is calm. There being
calm, there is no yearning. There being no yearning, there is no
coming or going. There being no coming or going, there is no
passing away or arising. There being no passing away or arising,
there is neither a here nor a there nor a between-the-two. This, just
this, is the end of stress
[2]
Pembanding
8-3: Tatiyanibbānasuttaṁ (73)
The Third Discourse about Nibbāna
Evaṁ me sutaṁ:
Thus I heard:
ekaṁ samayaṁ Bhagavā Sāvatthiyaṁ viharati,
at one time the Gracious One was dwelling near Sāvatthī,
Jetavane Anāthapiṇḍikassa ārāme.
in Jeta's Wood, at Anāthapiṇḍika's monastery.
Tena kho pana samayena Bhagavā bhikkhū Nibbānapaṭisaṁyuttāya
° Then at that time the Gracious One was instructing, rousing, enthusing, and cheering
Dhammiyā kathāya sandasseti samādapeti samuttejeti sampahaṁseti.
the monks with a Dhamma talk connected with Emancipation.
Te ca bhikkhū aṭṭhī katvā, manasikatvā,
Those monks, after making it their goal, applying their minds,
sabbaṁ cetaso samannāharitvā, ohitasotā dhammaṁ suṇanti.
considering it with all their mind, were listening to Dhamma with an attentive ear.
Atha kho Bhagavā, etam-atthaṁ viditvā,
Then the Gracious One, having understood the significance of it,
tāyaṁ velāyaṁ imaṁ udānaṁ udānesi:
on that occasion uttered this exalted utterance:
“Atthi bhikkhave ajātaṁ abhūtaṁ akataṁ asaṅkhataṁ.
“There is, monks, an unborn, unbecome, unmade, unconditioned.
No ce taṁ bhikkhave abhavissā ajātaṁ abhūtaṁ
If, monks there were not that unborn, unbecome,
akataṁ asaṅkhataṁ, na-y-idha jātassa bhūtassa
° unmade, unconditioned, you could not know an escape here
katassa saṅkhatassa208 nissaraṇaṁ paññāyetha.
from the born, become, made, and conditioned.
Yasmā ca kho bhikkhave atthi ajātaṁ abhūtaṁ
But because there is an unborn, unbecome,
akataṁ asaṅkhataṁ, tasmā jātassa bhūtassa
° unmade, unconditioned, therefore you do know an escape
katassa saṅkhatassa nissaraṇaṁ paññāyatī” ti.
from the born, become, made, and conditioned.”
8-4: Catutthanibbānasuttaṁ (74)
The Fourth Discourse about Nibbāna
Evaṁ me sutaṁ:
Thus I heard:
ekaṁ samayaṁ Bhagavā Sāvatthiyaṁ viharati,
at one time the Gracious One was dwelling near Sāvatthī,
Jetavane Anāthapiṇḍikassa ārāme.
in Jeta's Wood, at Anāthapiṇḍika's monastery.
Tena kho pana samayena Bhagavā bhikkhū Nibbānapaṭisaṁyuttāya
° Then at that time the Gracious One was instructing, rousing, enthusing, and cheering
Dhammiyā kathāya sandasseti samādapeti samuttejeti sampahaṁseti.
the monks with a Dhamma talk connected with Emancipation.
Te ca bhikkhū aṭṭhī katvā, manasikatvā,
Those monks, after making it their goal, applying their minds,
sabbaṁ cetaso samannāharitvā, ohitasotā dhammaṁ suṇanti.
considering it with all their mind, were listening to Dhamma with an attentive ear.
Atha kho Bhagavā, etam-atthaṁ viditvā,
Then the Gracious One, having understood the significance of it,
tāyaṁ velāyaṁ imaṁ udānaṁ udānesi:
on that occasion uttered this exalted utterance:
“Nissitassa calitaṁ, anissitassa calitaṁ natthi.
“For the dependent there is agitation, for the independent there is no agitation.
Calite asati210 passaddhi, passaddhiyā sati nati na hoti.
When there is no agitation there is calm, when there is calm there is no inclining.
Natiyā asati, āgati gati na hoti.
When there is no inclining, there is no coming or going.
Āgati gatiyā asati, cutupapāto na hoti.
When there is no coming or going, there is no passing away and rebirth.
Cutupapāte asati, nevidha na huraṁ na ubhayam-antare
When there is no passing away and rebirth, there is no here or hereafter or in
between the two
- esevanto dukkhassā” ti.
- just this is the end of suffering.[3]

UDANAVARGA
26: Nirvāṇavarga
ajāte sati jātasya vaden niḥsaraṇaṁ
asaṁskṛtaṁ ca saṁpaśyaṁ saṁskṛtāt parimucyate || 26.21
jātaṁ bhūtaṁ samutpannaṁ kṛtaṁ saṁskṛtam adhruvam
jarāmaraṇasaṁghātaṁ moṣadharmapralopanam
bhavipulā āhāranetrīprabhavaṁ nālaṁ tad abhinanditum || 26.22
tasya niḥsaraṇaṁ śāntam atarkāvacaraṁ padam
nirodho duḥkhadharmāṇāṁ saṁskāropaśamaṁ sukham || 26.23
abhijānāmy ahaṁ sthānaṁ yatra bhūtaṁ na vidyate
nākāśaṁ na ca vijñānaṁ na sūryaś candramā na ca || 26.24
 navipulā naivāgatir na ca gatir nopapattiś cyutir na ca
apratiṣṭham anālambaṁ duḥkhāntaḥ sa nirucyate || 26.25
navipulā yatra nāpo na pṛthivī tejo vāyur na gāhate
mavipulā na tatra śuklā dyotanti tamas tatra na vidyate || 26.26  na tatra candramā bhāti nādityo vai prakāśyate
yathā tv ihātmanā vetti munir mauneyam ātmanaḥ
atha rūpād arūpāc ca sarvaduḥkhāt pramucyate || 26.27
niṣṭhāgato hy asaṁtrāsī na vikanthī na kaukṛtiḥ
ācchettā bhavaśalyānām antimo ’sya samucchrayaḥ || 26.28[4]


Udanavarga
XXVI.
Nirvana
21.
Bhixus, the uncreated, the invisible, the unmade, the
elementary, the unproduced, exist (as well as) the created,
the visible, the made, the conceivable, the compound, the
produced; and there is an uninterrupted connection between
the two.^
22.
Bliixus, if the uncreated, the invisible, the unmade, the
elementary, the unproduced was nonentity, I could not
sav that the result of their connection from cause to effect
with the created, the visible, the made, the compound, the
conceivable was final emancipation.-
23.
Bhixus, it is because of tlie real existence of the uncreated,
the invisible, the elementary, the unproduced that
I say that the result of their connection from cause to
effect^ with the created, the visible, the made, the compound,
the conceivable is final emancipation,
24.,
The impermanency of the created, the visible, the made,
the produced, the compound, the great torment of subjection
to old age, death, and ignorance, what proceeds from
the cause of eating;* (all this) is destroyed, and tliere
is found no delight in it ; this is the essential feature
of final emancipation. Then there will be no doubts and
scruples ; all sources of suffering will be stopped,^ and one
will have the happiness of the peace of the sanshara.^
Bhixns,i it (nirvana) is neither in earth, or in water,
fire, or wind.-
26.
It (nirvana) is not in a spiritual state (ayatana) in the
immensity of space, nor in a spiritual state of infinite
wisdom, nor in a spiritual state in the region of nothing,
nor in a spiritual state in the region where there is no
conception (and) where there is not no (conception) ;
it is not in this world or in another world ; it is not in
either the sun or the moon : these (ideas) are not, I assert,
the correct conception (of it).
27.
Bhixus, as I say it does not exist with going and
coming, it is what is not existence ; as I do not say it
exists where there is death, it is nut to be born : this then
is the end of suffering.
28.
It (nirvana) does not exist in either earth, water, fire,
or wind; in it white (and the other colours) are noD
visible ; in it there is not even darkness ; in it the moon
does not shine, nor does the sun send forth its rays.[5]

Dalam teks Udana (bahasa Pali) ataupun Udanavarga (bahasa Sansekerta), Yang Absolutdisebut dengan sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak menjelma,tidak diciptakan, tidak tersenyawa atau makna-makna sejenis bergantung gaya penerjemahnya. Sedangkan yang relatif disebut dengan sesuatu yang dilahirkan, menjelma, diciptakan,  tersenyawa. Semuanya atribut tersebut dijelaskan dalam bentuk pasif (past particple).
Yang menarik disini adalah jika kata ‘diciptakan’ yang merujuk kepada yang relatif, maka mungkinkan kata itu memiliki makna sematik yang dipakai dalam bentuk kalimat aktif. Kata diciptakan adalah kata transitif yang membutuhkan objek sekaligus obyek.
Pertanyaannya adalah mengapa sang Buddha tidak menyebut ‘yang absolut’ dengan kalimat intransitif seperti ‘yang ada dengan sendirinya’ atau ‘yang tanpa asal usul’. Sedangkan yang relatif disebut ‘ada sebab yang lain’ dan yang memiliki asal usul’. 
Jika dikaji dengan pendekatan sematik mungkin dapat ditafsirkan bahwa yang Relatif memiliki ‘pencipta’ karena berdasarkan logika dia ‘yang diciptakan’ tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri’ atau melahirkan dirinya sendiri Sedangkan yang Absolut’ ada dengan sendirinya karena tidak tercipta.
Tentu saja sang pencipta ini bukanlah Maha-Brahma (sebuah sosok maskulin dengan pasangan Feminim Saraswati) karena dia memiliki wujud kurang lebih seperti makhluk ciptaan (manusia, raksasa, dewa atau makhluk adi kodrati lainnya), memiliki asal-usul dan Maha Brahma adalah jelmaan dari sesuatu yang ada sebelumnya, dan bahkan ‘alam’ tempat Maha-Brahma tinggal jauh lebih dulu ada dari pada Brahma. Intinya Maha-Brakma juga merupakan Makhluk yang diciptakan. Karena sang Pencipta pastilah ‘tidak diciptakan’ dan tidak dilahirkan’ dan ‘tidak menjelma’.......
Jadi dengan pendekatan semantik ini kurang lebih dapat ditarik kesimpulan bahwa sang Buddha ‘mengakui’ adanya sang pencipta. Tetapi beliau tidak mau menyebut-Nya. Karena masyarakat Brahmana (dimana sang Buddha menyebut mereka Bikkhu /biksu) sebagai lawan bicara sang Buddha yang melingkupi beliau akan mudah salah paham dan menganggap ‘sang pencipta’ ini tidak lebih seperti Maha-Brahma yang mereka yakini sebelum mengikuti sang Buddha. Keyakinan tentang Maha Brahma ini tentu masih melekat dalam alam bawah sadar para Bikkhu ini. Sang Buddha juga tidak menyarankan untuk mendekati’Yang Absolut’ ini dengan menyembahnya. Karena tentu saja dalam alam bawah sadar para Brahmana ini masih mewarisi tradisi ‘persembahan’ kepada Maha Brahma. Selain itu dikhawatirkan para brahmana ini kembali pada konsep ‘ketuhanan’ dalam tradisi Bahmanik, yang menganggap yang hidup abadi (berumur panjang seperti para dewa india) sebagai ‘Yang Absolut’. Jika kita lakukan pendekatan sosial budaya terhadap masyarakat Brahmanik pada masa Buddha kita akan memahami bahwa semua argumen sang Buddha terkait 'penolakan' terhadap pencipta adalah untuk menafikan sosok maha Brahma ini yang oleh masyarakat Brahmanik India telah dianggap sebagai sang Pencipta padahal Brahma bersifat sebagai sesuatu relatif dan sama sekali tidak memiliki sifat sebagai ‘Yang Absolut’.
Dalam argumen penolakan terhadap pencipta, sang Buddha menggunakan istilah Issara(pali)/ Iswara (sansekerta). Istilah ini dalam tradisi Veda merujuk kepada sosok tuhan personal seperti manusia yang makan minum, berpakaian, berkeluarga, dan seterusnya. dalam tradisi Upanisad, kurang lebih samaisvara merujuk kepada sosok berwujud seperti manusia yang memiliki kekuatan supernatural. dalam tradisi Bhagavadgita, Isvara digambarkan menjadi sosok yang mempribagi sebagai sesuatu yang menitis dalam bentuk manusia (avatar), shri Krisna digambarkan sebagai avatar dari Isvara ini. Dalam perpaduan tradisi Upanisad dan purana muncul dualisme Iswara yaitu Rudra- Siva dan Visnu-Krishna, kedua sosok ini dikenal sebagai sosok maskulin yang memiliki pasangan sosok feminim. Melihat konsep Isvara India ini, adalah wajar jika sang Buddha menolak konsep ini. karena semua iswava tersebut tidak memiliki sifat "Yang Absolut", yaitu tidak dilahirkan, tidak diciptakan, dan seterusnya. apalagi semua isvara ini digambarkan memiliki sifat manusiawi seperti memakai baju, berkeluarga, dan seterusnya.
Masyarakat India sangat gemar sekali menyembah makhluk-makhluk yang memiliki kekuatan Supranatural (Shakti). Mereka juga sangat kreatif membuat gambaran-gambaran sosok-sosok shakti ini. Sebagai contoh Krishna, raja Dwaraka dipuja oleh orang India. Sebagaimana sang Buddha, Krishna dikenal sebagai sosok yang memiliki kesaktian sehingga mampu mengalahkan Brahma. Hingga sekarang masyarakat India masih memuja Krishna sebagai titisan  (avatar) dewa Visnu, dewa yang lebih kuat dari Brahma, bahkan sang Buddhapun dianggap sebagai avatar dewa Visnu yang kesembilan karena mampu menundukkan Brahma oleh orang India.
Selanjutnya Sang Buddha lebih menyarankan mendekati yang Absolut dengan pembebasan diri dari kemelakatan dan bermeditasi. 

"Para Bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
menjelma,
64 tidak diciptakan, tidak tersenyawa. Para bhikkhu, jika
tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak
tersenyawa, maka tidak akan ada yang terlepas dari kelahiran,
penjelmaan, ciptaan, persenyawaan.
[81] Tetapi, para bhikkhu,
oleh karena ada yang tidak dilahirkan,
tidak menjelma, tidak tercipta, tidak tersenyawa,...
maka
pembebasan dari kelahiran, penjelmaan, ciptaan, persenyawaan, ...
merupakan sesuatu yang nyata.
 


Dari pernyataan di atas disimpulkan, jika “Yang Absolut”adalah  penyebab yang dapat menghentikan siklus kelahiran, ciptaan, dan penjelmaan, sangatlah dimengerti bahwa Dialah pencipta kelahiran dan penjelmaan.

Apakah yang Absolut ini tidak merujuk pada Nirvana/Nibbana. Memang dalam teks-teks Buddhis ‘Yang Absolut dibicarakan dalam bab Nirvana/Nibbana. Dalam Udana disebutkan kalimat 'topik utama nibbana' memang demikian. walaupun sebenarnya Nibbana bukan satu-satunya topik yang dibicarakan. Sehingga para penerjemah lebih cenderung  menterjemahkannya dengan Nibbana. lihat saja kata ganti 'it' pada terjemahan Inggris Udanavarga diberi penekan makna (nirvana) oleh sang penerjemah. seandainya tanpa diberi penekan tersebut mungkin pembaca akan memikirkan makna lain. Sebelumnya perlu didefinisikan apa yang dimaksud dengan Nirvana/Nibbana.
Nibbana (Nirwana) merupakan pencapaian terakhir dari para pengikut ajaran Buddha yang digambarkan sebagai kesempurnaan dan kebahagiaan tertinggi. Untuk dapat mengerti lebih dalam mengenai arti kata Nibbana, terdapat ayat-ayat yang dilontarkan Kisa Gotami. Beliau melihat Pangeran Siddhartha pulang ke istana, sekembalinya dari hutan di malam hari sesaat setelah Pangeran Siddhartha mencapai penerangan tertinggi. Kisa Gotami berseru : 
Nibbuta nuna sa mata,
nibbuto nuna so pita,
Nibbuta nuna sa nari,
yassayam idiso pati. 
Sesungguhnya yang bahagia, senang, dan damai 
adalah seorang ibu (yang memiliki seorang anak seperti Beliau),  
Sesungguhnya yang berbahagia adalah seorang ayah (yang memiliki seorang anak seperti Beliau),
Sesungguhnya yang berbahagia adalah seorang wanita yang memiliki seseorang sebagai suami. 
Nibbuta (berasal dari kata nir + v.r) sering dianggap sebagai bentuk masa lampau (secara gramatikal) dari kata kerja nibayati, dan Nibbana adalah kata benda yang dibentuk dari kata tersebut, yang memiliki arti kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian. Nibayati juga berarti memadamkan, seperti padamnya sebuah lampu. Jadi, Nibbana juga diartikan sebagai pemadaman, yakni padamnya api Keserakahan, api Kebencian, dan api kebodohan batin (ragaggi, dosaggi, mohaggi). Ketika api-api ini berhasil dipadamkan, kedamaian akan dicapai dan yang mencapai akan berubah menjadi tenang sepenuhnya (sitibutha). Terkadang juga terdapat asumsi bahwa Nibbana berarti sejuk, hal ini dikarenakan pada zamannya Buddha, beliau berkhotbah di daerah yang beriklim panas, dimana sejuk merupakan kondisi yang nyaman dan sesuai di daerah tersebut. Jika Buddha membabarkan Dharma di daerah beriklim sejuk, mungkin saja kata Nibbana akan diartikan dengan kata panas. Namun, pastinya kata ‘sejuk’ dipilih untuk mengartikan realitas karakteristik psikologis secara harfiah. Marah menyebabkan kita merasa panas dan lelah. Kita sering menggunakan ungkapan ’panas’ untuk merujuk pada kemarahan, dan secara jelas mengekspresikan intensitas emosi yang agresif. Ketika emosi-emosi yang negatif dapat dihilangkan sepenuhnya, dan tidak pernah muncul kembali, keadaan ini digambarkan sebagai keadaan yang sejuk. Nibbana merupakan suatu tingkatan yang dapat dicapai di manapun, kapanpun pada setiap kehidupan6 dan bukan hanya dapat dicapai setelah kematian terjadi. Pada kaitannya dengan pengalaman hidup, Nibbana dapat dikategorikan dalam empat kondisi-kondisi khusus, yakni: 1. Kebahagiaan, 2. Kesempurnaan moral, 3. Realisasi, dan 4. Kebebasan.[6]
Jadi Nibbana adalah seatu ‘keadaan’atau dimensi terbebas dari penderitaan karena terhentinya siklus kelahiran.seperti dijelaskan dalam wacana ini. 

Para bhikkhu, ada suatu keadaan yang bukan bumi, air, api,
maupun udara
57; yang bukan ruang tanpa batas58, bukan pula
kesadaran tanpa batas
59, bukan kekosongan, juga bukan kesadaran
ataupun tanpa kesadaran
61
; bukan dunia ini, juga bukan dunia di
baliknya, juga bukan kedua sisi dunia itu berpadu, bukan rembulan
dan matahari.
Sehingga, para bhikkhu, kami menyatakan tidak terlahir kembali;
tak'kan lenyap (dari kehidupan); tak ada gerak waktu; tak ada yang
jatuh; tak ada yang muncul. Bukan sesuatu yang tetap, juga bukan
yang bergerak, tidak melekat pada apapun. Inilah akhir
penderitaan.
"
[7] 
jadi pernyataan sang Buddha

"Para Bhikkhu, ada sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak
menjelma,
64 tidak diciptakan, tidak tersenyawa. Para bhikkhu, jika
tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak
tersenyawa, maka tidak akan ada yang terlepas dari kelahiran,
penjelmaan, ciptaan, persenyawaan.
[81] Tetapi, para bhikkhu,
oleh karena ada yang tidak dilahirkan,
tidak menjelma, tidak tercipta, tidak tersenyawa,...
maka
pembebasan dari kelahiran, penjelmaan, ciptaan, persenyawaan, ...
merupakan sesuatu yang nyata.
 

pernyataan di atas menjelaskan entitas lain yaitu realitas sang Absolut yang bukan Nibbana, yaitu Tuhan dalam bahasa teologi, tapi bukan seperti dewa-dewa India atau dewa-dewa Yunani yang berwujud seperti manusia sengan seperangkat kekuatan adi kodrati (shakti) tetapi sebuah entitas Absolut yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. sebab entitas selain Tuhan tentu dilahirkan dijelmakan dan seterusnya. Sebagai tambahan coba perhatikan wacana dalam Suttanipata ini.

Asaṁhīraṁ asaṁkuppaṁ yassa n’atthi upamā kvaci. Addhā gamissāmi na m’ettha kaṅkhā evaṁ maṁ dhārehi adhimutta,cittan’ti. [8] 
The immovable, the unshakable, has no comparison whatsoever. Surely there I shall go, without a doubt consider me, then, as one whose mind is so inclined [9]
'Yang tak tergeser' 'Yang tak tergoyahkan' 'yang tak memiliki perbandingan apapun'. tentu kesanalah aku akan pergi. tanpa ragu anggaplah diriku, kemudian, sebagai orang yang memiliki pikiran yang condong.

dalam redaksi terjemahan Inggris Udanavarga ada tambahan
 .....the invisible, ....
elementary, ....
.....yang tak tampak.....
yang mendasar...  
Maha-Brahma tidak memiliki semua kriteria itu
 

Jika diibaratkan sang Buddha tidak mengatakan,‘Sembahlahlah Dia’, tapi beliau lebih mengatakan 'pergilah' ke Nibbana dengan pembebasan diri dari kemelakatan dan meditasi (nanti engkau dengan sendirinya bertemu dengan Dia).
Untuk lebih jelas tentang konsep ketuhanan dalam Buddha mungkin ada baiknya mengutip salah satu dekrit yang ditulis dalam prasasti raja Ashoka (seorang raja Buddhis yang paling terkenal dan memprakarsai konsili Buddha)  sebagai berikut.
'Much longing after the things  (of this life) is a disobedience, I again declare; not less so is the laborious ambition of dominion by a prince who would be a propitiator of heaven. Confess and believe in God who is the worthy object of obedience. For equal to this (belief), I declare unto you, ye shall not find such a means of propitiating heaven. Oh strive ye to obtain this inestimable treasure. [10]

Banyak mendambakan hal-hal (dari kehidupan ini) adalah pelanggaran, saya kembali menyatakan; begitu juga ambisi yang serius yang dimiliki oleh penguasa yang akan menjadi pendamai surga. Akui dan percayalah kepada Tuhan yang merupakan obyek kepatuhan yang pantas. Senada dengan ini, saya menyatakan kepada kamu, Anda tidak akan menemukan cara untuk mendamaikan surga. Oh, usahakan untuk mendapatkan harta yang tak ternilai ini.

Thus spake Devanampiya Piyadasi: "Wherefore from this very hour, I have caused religious discourses to be preached, I have appointed religious observances that mankind, having listened thereto, shall be brought to follow in the right path, and give glory to God. [11]


'Demikianlah sabda Devanampiya Piyadasi: "Oleh karena itu sejak saat ini, saya telah menyebabkan wacana-wacana religius diberitakan, saya telah menunjukkan ibadah agama yang mana umat manusia telah mendengarkannya dan akan dibawa untuk mengikuti jalan yang benar, dan memuliakan Tuhan


Sebagai kajian semantik perlu kiranya pemahaman mendalam terkait semantik bahasa Pali dan bahasa Sansekerta. Itu keterbatasan penulis. Semoga ada pakar bahsa Pali dan Bahasa Sansekerta dari orang Indonesia yang dengan rela hati mengulas hal ini. 



[1]“Udana” Ungkapan Nurani Para Arya, Seri Penerbitan Ti-Pitaka huddaka-nikâya, Fakultas Darma Acarya I.I.A.B Smara Tungga Cabang Medan 1994. halaman 71-72
[2]Udana: Exclamations A  Translation with a n introduction & notes by thanis saro bhikkhu (Geoffrey De Graff) 111-114
[3]Udāna, Exalted Utterances, Buddha Jayanti Tripitaka Text, translated by Ānandajoti Bhikkhu, (revised version 2.2, February 2008) 261-262
[4] Udānavarga Edited by Franz Bernhard (1965) together with 2 studies, a metrical analysis, and a running commentary on the metre by Ānandajoti Bhikkhu (version 2.1, January 2006) 169-168
[5]Udânavarga: a collection of verses from the Buddhist canonby Bkah-hgyur; Dharmatrata. comp; Vidyaprabhakara, tr; Rockhill, William Woodville, 1854-1914. tr; Vasubandhu; Prajnavarman, (London, Trübner & co. 1883) 120-122
[6] Lily de Silva, Buku ke-2 Nibbana, Sebagai Suatu Pengalaman Hidup; Judul Asli: Nibbana, as Living Experience, Penerjemah : Harianto Lim, Cetakan Pertama : Juli 2008 Diterbitkan Oleh: KAMADHIS UGM (Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada) 1-2
[7] Udana: VIII:I
[8] Suttanipata: 1149
[9] K. R. Norman, the group of discourses. (sutta-nipata) translafed with introduction and notes published by the pali text society, oxford, antony rowe ltd, chippenham. Wilts,  2001 
[10] Texts. Rock Inscriptions Of Asoka: Shahbazgarhi, Khllsi, Girnar, Dhauli, And Jaugada, http://www.koeblergerhard.de/Fontes/EdiktedesAshoka_Cunningham1879.pdf. 128
[11]Texts. Rock Inscriptions Of Asoka: Shahbazgarhi, Khllsi, Girnar, Dhauli, And Jaugada, 139

SEMOGA SEMUA MAKHLUK BAHAGIA